
Gb. Di depan serambi masjid habis sowan Gusti Allah
Pertengahan Ramadhan tepatnya hari Minggu 31 Oktober 2004, kami melakukan Ramadhan tour dengan tarawih keliling dan pengajian sebagai tujuan utamannya ke Masjid Desa Sarakaman Pulau Sebuku Kalimantan Selatan. Tour ini sesungguhnya yang ke-empat dari lima yang direncanakan oleh Panitia Ramadhan di Tambang tahun 2004 (RadiTa 1425 H), jama’ah Sebuku Moslem Society (SMS), sedang tiga Masjid yang kami telah kunjungi sebelumnya adalah Masjid Bagu, Sekapung, dan Belambus.
Untuk mencapai Desa Sarakaman kami harus menembus gelap dan pekatnya hutan kayu Sarakaman, siapapun yang akan melewati apalagi sendirian tentu perlu berpikir sembilan puluh sembilan kali. Dalam sepinya suasana temen-temen satu tumpangan terus asyik bercakap-cakap untuk memecah kesunyian seraya menyibak dunia lain dunia yang penuh dengan misteri dan keheningan. Sorot lampu dan deru mesin tujuh mobil barangkali cukup mengusik penghuni hutan ini untuk terjaga dari kebisuan malam yang kita sendiri tak pernah mengerti fenomena apa yang terjadi di setiap sepanjangan malam disini. Melalui jalan yang berliku dan sempit akhirnya sampailah kami dilokasi setelah menempuh waktu kurang lebih 45 menit.
Jama’ah masjid dan masyarakat sekitar tak ketinggalan pula kepala desa menyambut kami rombongan Ramadhan tour yang berjumlah 30-an orang termasuk ustadz Kotabaru, dengan suka cita dan wajah berseri-seri senang layaknya seperti menyambut saudaranya yang habis berpergian jauh. Sayangnya kami telah ketinggalan sholat isya mereka, sehingga terpaksa kami mengadakan sholat isya jama’ah sendiri sebelum sholat tarawih dimulai. Anda pasti ingin tahu gimana sih profil Desa Sarakaman ? baiklah, desa dengan luas sekitar 64 km2 ini mempunyai penduduk 689 jiwa atau kurang lebih 210 kk, laki-laki hampir sama bayak dengan wanita sedang cowok dan cewek so pasti hampir sama juga prosentasenya lho, mayoritas penduduk disana adalah muslim dan sebanyak 97 % penduduk disana merupakan suku Banjar, sisanya suku Jawa dan Sunda. Umumnya penduduk pedalaman mata pencaharian mereka kebanyakan adalah penyadap karet, serta sebagian lainnya sebagai nelayan, pedagang, dll.
Bilalpun berseru “Asholaatul jamiah, asholaatul jami’ah,….shollu sunnatan taroowiihi roka’aatin jaamiatan rohimakumullaah…” tanda sholat tarawih akan segera dimulai, kamipun berdiri meluruskan dan merapatkan barisan shof dibelakang imam. Shof laki-laki di depan sedang wanita dibelakang di sekat oleh kain pembatas berwarna putih agar jama’ah laki-laki tak main mata dengan jama’ah wanita karena ini bisa mengurangi kekhusyu’an sholat, iya kalo ? Sedikit informasi saja, seperti umumnya masjid-masjid yang telah kami sambangi pada ramadhan tour sebelumnya, sholat tarawih di masjid ini pun akan dilakukan dalam 20 raka’at dengan dua rakaat salam ditambah 3 rakaat sholat witir sesudahnya. Adalah satu hal yang membedakannya dan membuat kami sedikit ‘surprise’ alias tergumun-gumun yaitu begitu kilatnya imam membaca suratan dan gerakan sholat. Kami yang baru saja mau meletakan tangan di lutut untuk ruku’ eh imam sudah berdiri i’tidal, demikian juga dahi barusan mau nempel dilantai imam sudah buruan duduk, al-hasil makmum sedikit kepuntal-puntal, maka jalan yg terbaik bagi makmum adalah mengimbangi kecepatan gerakan imam sehingga antara imam dan makmum terjadi ‘TST’ tahu sama tahu tidak berarti tahu sama tempe, emang sayur kare ape …
Memasuki rakaat berikutnya kepikiran iseng untuk menghitung laju kecepatan sholat (Vs = velocity of sholat), maka ketika imam takbir saya melirik kearah jam dinding yang menempel di dinding (jam tangan menempel di tangan, lha jam weker menempel dimana ? .. di bathukmu gus) lalu dicatat dalam hati begitu pula ketika salam maka segera cepet-cepet kembali melirik jarum jam itu lantas saya hitung berapa lama waktu berlalu dari takbir sampai salam. Ingin tahu hasilnya, dua rakaat tarawih yang barusan dikerjakan hanya memerlukan waktu 1 menit 50 detik, percaya atau tidak artinya satu rekaat menghadap sang Khaliq yang maha ‘Welas Asih’ hanya diperlukan 55 detik waktu untuk berdiri, rukuk, sujud, duduk dan berdiri lagi eqivalen dengan 5 hisapan rokok sigaret,… masya Allah. Saya membandingkan sekiranya kita sedang menghadap seseorang yang penting, atasan, bupati, menteri ataupun presiden, terus kita menyampaikan permintaan kepada beliau untuk sesuatu permohonan dengan cara ngomong yang cas cis cus nyerocos cepat ditimpali perasaan tidak jenak seperti layaknya kebelet kebelakang, mahfum adanya kalau yang diajak ngomong akan ‘unjal ambegan’ lihat tingkah laku kita. Namun tentu saja Allah akan tetap mengabulkan do’a kita sebagaimana do’a dalam kita sholat tarawih tadi karena Dia sama sekali tak bisa dan tak boleh kita sepadankan dengan atasan, bupati ataupun manusia yang paling penting sekalipun, Dialah yang maha Pengasih lagi maha Penyayang bagi semesta makhluk apalagi yang telah memanjatkan permohoanannya meski dengan tergesa-gesa …
Allohumma sholli wa sallim ‘alaa Muhammad,….. Allohumma sholli wa sallim wa baarik ‘alaiihi,… suara bilal dan ma’mum bersahutan disetiap mengawali sholat sungguh pujian yang memang sudah semestinya kita sampaikan ke junjungan Rasulullah Muhammad saw, dengan suri tauladannya kita semua bisa merasakan nikmatnya hidup dalam suasana yang penuh persaudaraan. Sholawat yang saling bersahutan juga membangkitkan jama’ah saling berinteraksi sehingga menghilangkan rasa lelah dan mengantuk saya, betul sekali, biasanya sholat tarawih ini godaan yang terberat memang mengantuk, sebenarnya sih berbuka puasa hanya dengan beberapa butir kurma saja, tapi kawanya biasanya satu mangkok kolak plus sepiring nasi menyebabkan aliran oksigen sedikit terhambat menuju ke otak sehingga wajar saja kantuk pasti datang. Memasuki raka’at ke 16 imam mulai menurunkan kecepatannya, pikir saya pasti ibarat mobil tua 1000 cc melaju dalam tanjakan ketika hampir sampai ditanjakan hilanglah daya tarikannya sehingga digaspun akan tetap ngeslow (bukan Melky Guslow) atau barangkali kebiasaanya tarawih disini memang begitu adanya. Dan tak terasa 20 kali 55 detik berlalu, usai sudah ibadah sholat tarawih kami, perkiraan saya yang pertama tak meleset pak imam akhirnya ‘koler’ kata orang Banjar (bahasa gaulnya teller) minta ganti orang lain untuk menjadi imam sholat witir, makmumpun tersenyum geli sabarataan, he.. eh.. pang.
Waktupun menggoreskan catatan, tarawih di Sarakaman telah menjadikan pelajaran bagi kami khususnya saya, sejenak terbesit di benak saya untuk sekedar bertanya, ya sekedar bertanya saja adakah diantara kita yang sholatnya lebih cepat dari 55 detik satu rekaat ? Biarkan saya bercerita bahwa biasanya saya nonton Bajaj Bajuri 55 menit tak terasa sampai habis cerita pantat terasa lengket di sofa. Lalu pantaskah kita yang telah diberi kemudahan menghirup udara bebas meluangkan hanya 55 detik untuk bertemu dengan yang membebaskan udara ? saya tak cukup tahan untuk menanggung malu menjawab dihadapan-Nya, maka segera saja saya akhiri kisah dan episode ini, karena semestinya saya masih punya rencana untuk menulis sajak-sajak penting esok hari ….
Allohumma sholli wa sallim ‘alaa Muhammad,….. Allohumma sholli wa sallim wa baarik ‘alaiihi,…
(Sebuku, malam ke-19 Ramadhan 1425 H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar