Gb. Mr. HAG and Koko at Kotabaru market
Selepas sholat isya saya beranjak keluar menuju beranda housing untuk sekedar mencari angin segar menetralkan urat syaraf dan sendi tulang, rileks melepaskan ketegangan setelah seharian kerja. Dua teman serumah, satu dari Yogya itu bernama Kuncoro (dulu penggemar dangdut sekatenan) dan satu dari Bali itu bernama Rahma, lebih lengkap Ida Bagus Rahma Putra terlihat sedang asyik nonton acara AFI, barangkali cocok dengan suaranya atau seneng lihat penyanyinya yang cakep, saya tak berminat mengganggu apalagi mengusik keasyikan mereka.
Ditemani sejuknya udara malam dan diselingi gemuruh suara ombak yang bercanda seakan ingin mengajakku dalam keriangan dan kegembiraan yang lepas. Saya menatap lurus kedepan, dalam bayangan kegelapan malam kilauan air laut dan putihnya ombak yang pecah membuih nampak seperti anak-anak tersenyum riang. Sepasang bintang diatas terlihat berkedip-kedip, entah apa yang sedang meraka pikirkan, seperti menyembunyikan sesuatu yang tak ingin makhluk lain mengetahuinya.
Nun jauh di tengah laut beberapa mil dari bibir daratan, samar terlihat setitik cahaya pijar dikeremangan kabut malam yang berasal dari lampu ketinting. Ketinting atau balapan ataupun kelotok, sebagaimana penduduk disini menyebutnya adalah sebuah perahu kecil nelayan yang syarat dengan multi fungsi sebagai alat transportasi dari tempat satu ke tempat lain, sebagai sarana untuk berdagang keliling dan juga sebagai alat untuk mengarungi laut mencari ikan dan udang, saya yakini lampu ketinting yang terlihat disana pastilah lampu ketinting nelayan yang sedang mencari ikan. Umumnya dalam menangkap / menjala ikan dan udang mereka akan berdua atau bertiga, berangkat petang pulang pagi hari. Saya tak tahu pasti berapa kilo udang yang akan dibawa pulang setiap harinya, tapi saya tahu pasti bahwa harga udang yang mereka tangkap berkisar antara 50 ribuan perkilo, karena saya sesekali membawa untuk oleh-oleh pulang yogya. Seakan tak bergerak nyala Lentera bergerak amat perlahan bahkan seakan diam dalam satu titik saja, apakah yg terjadi disana, pastilah ombak sedang memain-mainkan ketinting itu, sementara nelayan menebarkan jala menebarkan harapan dalam setiap tarikan nafas dan usahanya, pikirku tentu amatlah dingin disana, alangkah beratnya hidup …
Perlahan ingatanku kembali mengenang beberapa hari yang lalu, ketika sehabis makan malam yang masih sore, kebiasaan kami kalau pulang agak telat kesorean sedikit langsung makan biar nanti nggak repot bolak-balik, saya dan pak Sudasih pulang ke rumah bareng. Pak Sudasih kebetulan sebagai manager community dan govermen Relation merupakan salah satu orang yang saya hormati karena kearifannya dan juga pengalamannya puluhan tahun di tambang menjadikan ia seorang guru. masuk kedalam mobil dia duduk dan sandarkan badan sembari menghela napas ….
Hembusan nafas yang panjang …
Menjadikan saya kehilangan inspirasi untuk meneruskan tuisan ini
Hingga ceritapun hanya sampai disini dan tak pernah terselesaikan, dengan gontai aku masuk kamar mencari inspirasi yang hilang ....
Maaf : Rahma, Kuncoro, Pak Sudasi, namamu saya gadaikan lewat cerita ini
Ditemani sejuknya udara malam dan diselingi gemuruh suara ombak yang bercanda seakan ingin mengajakku dalam keriangan dan kegembiraan yang lepas. Saya menatap lurus kedepan, dalam bayangan kegelapan malam kilauan air laut dan putihnya ombak yang pecah membuih nampak seperti anak-anak tersenyum riang. Sepasang bintang diatas terlihat berkedip-kedip, entah apa yang sedang meraka pikirkan, seperti menyembunyikan sesuatu yang tak ingin makhluk lain mengetahuinya.
Nun jauh di tengah laut beberapa mil dari bibir daratan, samar terlihat setitik cahaya pijar dikeremangan kabut malam yang berasal dari lampu ketinting. Ketinting atau balapan ataupun kelotok, sebagaimana penduduk disini menyebutnya adalah sebuah perahu kecil nelayan yang syarat dengan multi fungsi sebagai alat transportasi dari tempat satu ke tempat lain, sebagai sarana untuk berdagang keliling dan juga sebagai alat untuk mengarungi laut mencari ikan dan udang, saya yakini lampu ketinting yang terlihat disana pastilah lampu ketinting nelayan yang sedang mencari ikan. Umumnya dalam menangkap / menjala ikan dan udang mereka akan berdua atau bertiga, berangkat petang pulang pagi hari. Saya tak tahu pasti berapa kilo udang yang akan dibawa pulang setiap harinya, tapi saya tahu pasti bahwa harga udang yang mereka tangkap berkisar antara 50 ribuan perkilo, karena saya sesekali membawa untuk oleh-oleh pulang yogya. Seakan tak bergerak nyala Lentera bergerak amat perlahan bahkan seakan diam dalam satu titik saja, apakah yg terjadi disana, pastilah ombak sedang memain-mainkan ketinting itu, sementara nelayan menebarkan jala menebarkan harapan dalam setiap tarikan nafas dan usahanya, pikirku tentu amatlah dingin disana, alangkah beratnya hidup …
Perlahan ingatanku kembali mengenang beberapa hari yang lalu, ketika sehabis makan malam yang masih sore, kebiasaan kami kalau pulang agak telat kesorean sedikit langsung makan biar nanti nggak repot bolak-balik, saya dan pak Sudasih pulang ke rumah bareng. Pak Sudasih kebetulan sebagai manager community dan govermen Relation merupakan salah satu orang yang saya hormati karena kearifannya dan juga pengalamannya puluhan tahun di tambang menjadikan ia seorang guru. masuk kedalam mobil dia duduk dan sandarkan badan sembari menghela napas ….
Hembusan nafas yang panjang …
Menjadikan saya kehilangan inspirasi untuk meneruskan tuisan ini
Hingga ceritapun hanya sampai disini dan tak pernah terselesaikan, dengan gontai aku masuk kamar mencari inspirasi yang hilang ....
Maaf : Rahma, Kuncoro, Pak Sudasi, namamu saya gadaikan lewat cerita ini
Kudoakan, kalian semua menjadi orang yg mulia
By : Hendrato Agung
Akhir tahun 2005
By : Hendrato Agung
Akhir tahun 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar